Air mata ini tidak juga berhenti menetes, sementara tubuh
saya sudah menggigil dirasuk angin dan mulut saya tidak juga berhenti merapal
doa-doa penuh pengharapan. Saya butuh keajaiban.
Setelah bertahun-tahun saya meyakini hal ini akan berbuah
manis, hari ini pahitnya terasa juga.
Tak tanggung-tanggung, pahitnya justru mematikan indera
perasa saya, hingga saya tak mampu lagi merasa.
Saya kembali menggigil. Tangis kedua di bulan Juli.
Yang pertama terjadi semalam, ketika saya tidak kunjung bisa
tidur, ada perasaan aneh yang merasuki saya. Saya tahu hal ini akan terjadi. Saya
tahu. Sudah dari jauh-jauh hari saya merasa bahwa dirinya kian lama kian jauh
dan tidak tergapai.
“Dreams are like stars. You can’t reach it, but if you
follow it, it will take you to your destiny.”
Tangan saya gemetar. ada amarah yang tiba-tiba saja muncul
dan menyulut diri saya.
Dan air mata itu kembali tumpah. Saya kemudian berpasrah dan
menarik selimut kembali, hendak menghangatkan diri dengan sisa-sisa tenaga yang
saya punya.
Saya selalu menjadi pusat dari masalah. Saya yang selalu
mengiba, meminta cinta yang sesungguhnya tidak ia rasa.
“kenapa kamu nggak
minta aku pergi aja dari awal?”
Kenapa.
Saya yang bodoh, saya yang salah. Tidak seharusnya saya
disini, tidak seharusnya saya berada disini.
“cinta? Bullshit!”
Cinta. Satu kata yang hingga saat ini tidak saya mengerti
juga maksudnya.
Untuk apa manusia dibuat merasakan cinta, jika pada akhirnya
terluka juga?
Tak ubahnya sebuah pertemuan, setiap hal memiliki titik
akhir yang sama: perpisahan.
“aku gak ngerti apa
yang tuhan mau.”
Semua hal ini begitu abu-abu. Saya bahkan nggak menemukan
putih dalam paletnya.
Saya ingin mengerti, saya ingin belajar menerima. Saya ingin
belajar melepaskan.
Saya menatap buku-buku jari saya yang memutih, kemudian
merasakan perih pada lengan kiri. Oh, saya menggenggam terlalu kuat?
Terlalu kuat, hingga yang terasa perih dan luka?
Saya tidak tahu mengapa saya menggenggam sekuat itu. Mungkin
emosi. Mungkin perasaan yang tidak tergambarkan.
Haruskah saya tahu apa alasannya?
“Cinta itu seperti
pasir. Semakin kamu genggam, semakin ia akan jatuh satu persatu dari sela-sela
jarimu, untuk pada akhirnya habis dan tidak ada yang tersisa kecuali
serpihan-serpihan pasir. Serpihan itu, kita kenal sebagai memori. Kenangan.”
Karena mencintai kamu tidak membutuhkan sebuah alasan.
Tapi mungkin saya memang menggenggam terlalu kuat. Jadi,
salah saya, lagi?
“bukan. Ini namanya
takdir.”
Takdir? Takdir itu ada dua! Ada yang bisa diubah, ada yang
tidak. Kenapa kita tidak mengubahnya, menjadi lebih baik? Karena saya yakin ini
bisa diubah!
“kan, seperti
bintang.”
Saya merinding mendengarnya. Merasakan air mata kian meleleh
di kedua pipi saya.
Segitu jauhnya kamu, sejauh bintang, sampai saya pun tidak
bisa menggapainya?
“ini emang udah
jalannya. Udah seharusnya kayak gini.”
Jalannya. Takdir.
Saya menghembuskan nafas berat.
Setelah sedari tadi berulang kali merapal doa, dan membisik
harapan, saya mulai mengerti.
Ini jalannya. Memang sudah begini takdirnya.
Saya tersenyum diantara sisa-sisa riak air mata yang meleleh
di pipi.
“ini memang jalannya. Terimakasih telah menunjukkan saya
jalan ini. Saya akan berusaha bertahan, saya tidak berkata saya akan melupakan.
Tidak, saya tidak akan melupakan kamu. Selamanya kamu akan tetap jadi yang
nomor satu buat saya. Kamu bahagia? Ya, itu lebih baik. Saya hadir untuk
melengkapi kamu. Sepertinya, sejauh ini saya sudah berhasil. Percaya atau
tidak, sekarang saya sudah benar-benar bisa tersenyum.. terimakasih.”
No comments:
Post a Comment