October 21, 2011

Bismillah rapot mid-term nya bagus.


Tolongdibantu yaaaak doanyaa... Simsalabim jadi apa prok prok prok!

Basic 2: another hell place to be.

Hai blog. Gue lagi merana banget nih.

Bukan, bukan karna hasil placement test gue belom keluar.
Bukan karna itu.

Hasil test nya udah keluar. Gue masuk basic 3 tapi karna gaada kelas buat sore, jadilah gue masuk basic 2, tapi free.

You know what?

Kelasnya sunyi banget. Yang ngajar ms. yuli

Oh my god. Kill me now.

Seketika gue kangen dengan betapa friendly-nya kelas gue yang lama. Betapa setiap sebelum les dimulai, kita suka ngerusuh. Ngebaur antara cewek dan cowok.

Seketika gue bener2 kangen sampe rasanya sedih gitu.

Gak bohong lho. Gue kangen suasana kelasnya. Plus kangen elo....


HAHAHAHA *fail*







Head master, could you please let me be with my friends again?

October 20, 2011

Hai. Masa yah, saya sebal karena hasil placement test saya di english course yang saya ikuti, belum keluar. *sigh*

lapsy.......

Hey. Gue udah lama ga nge blog nih.

Kenapa?

Karena eh karena..........

Laptop gue rusak.


*nangis darah*

Ngga lebe. Well, get well soon lapsy.

Lapsy siapa dar?

Lapsy itu laptop gue. Unyu yah namanya? :3


HAHAHA. Aduh udah bel.

October 8, 2011

writer wannabe

hello blog. gue gak bisa sering2 ol nih sekarang.... *hapus air mata* #curhat
-_-


hffft.. banyak banget sebenernya yang terakhir selama seminggu ini. kebanyakan malah. someday maybe i'll tell you yah. 


by the way, gue mulai melebarkan sayap gue di dunia penulisan *eaaaaa* *piwit!* -______-"


iya, gue punya web khusus karya-karya gue. karna belom bisa lama-lama ol, gue baru bikin dan belom diisi. #pret 


sebenernya ini cuma buat ngembangin hobby gue aja. yaaah, siapatau someday gue bisa bikin buku. amin!










aduh udah diteriakin emak disuruh belajar.








*wave hands* see ya next time bloggers! 










untuk web gue yang isinya cerpen2 gue, gue share nanti karna belom ada isinya. ehe ehe ehe ehe -_-

October 5, 2011

Peluk, by Dewi Lestari


Peluk
Ada keanehan yang menyembul keluar dan kini menguasai pikiranku, yang membuat aku berjarak dengan diriku sendiri dan memunculkan satu tanya:mengapa kulakukan ini? Keanehan lain menyusul, yakni jawaban muncul dengan sendirinya tanpa proses berpikir: memang ini jalannya. Itukah yang dinamakan firasat? Menahun sudah aku tahu, hari ini akan tiba. Tapi bagaimana bisa pernah kujelaskan? Aku menyayangimu seperti kusayangi diriku sendiri. Bagaimana bisa kita ingin pisah dengan diri sendiri?
Barangkali itulah mengapa kematian ada, aku menduga. Mengapa kita mengenal konsep berpisah dan bersua. Terkadang kita memang harus berpisah dengan diri kita sendiri; dengan proyeksi. Diri yang telah menjelma menjadi manusia yang kita cinta.
Sedari tadi kamu seperti orang kesakitan, merangkul erat badanmu sendiri dengan mulut terkatup rapat dan rahang mengencang. Aku ingin bilang, aku paham kenapa kamu sakit. Namun tak sepatah katapun keluar. Aku ingin bilang, aku sakit melihat kamu sakit. Namun bungkusan udara ini memberangus mulut kita berdua.
Mengapa kata-kata justru hilang pada saat seperti ini? Saat kulihat kamu butuh penghiburan, nasehat bijak, atau humor segar agar kesedihan ini beroleh penawar? Kemampuan kita berkata-kata menguap. Kemampuanku melucu lenyap. Kebisuan menjadi hadiah kebersamaan kita bertahun-tahun. Aku ingin bilang, berbarengan dengan makin pilunya hati ini, ada keindahan yang kurasakan, dan aku tak mengerti mengapa bisa demikian.
Pandangan mata kita yang sedari tadi berlari-lari mulai berani menemukan satu sama lain. Rasanya kita sama-sama tahu, entah kapan lagi tatapan seperti ini terjalin. Tak mungkin kulupa caramu memandangku, dan tak mungkin kau lupa bagaimana semua ini bermula. Aneh. Pada saat kita hendak berbalik dan menutup pintu, mendadak ruang yang kita tinggalkan memunculkan keindahan yang selama ini entah bersembunyi di mana.
Tanganmu bergerak bimbang seperti ingin meraih tanganku, tapi kau urungkan niat itu. Dua manusia yang sudah bercinta bertahun-tahun dan merasakan setiap jengkal kulit masing-masing, mendadak enggan untuk bersentuhan.
‘Habis ini, lalu apa? Kamu sendirian. Aku sendirian. Buat apa? Kenapa kita tidak berdua lagi saja?’
Suaramu pertama dalam setengah jam terakhir.
Mulutku refleks membuka, ingin menjawab. Tapi tak ada bunyi keluar selain tiupan karbondioksida. Aku tak tahu jawabannya. Aku tidak tahu sesudah ini lantas terjadi apa. Aku tidak tahu kenapa dua manusia yang saling sayang harus kembali berjalan sendiri-sendiri.
Namun kurasa hatimu tahu, seperti hatiku pun tahu. Jika malam ini kita memutuskan untuk terus bersama, itu karena kita tidak tahu bagaimana menangani kesendirian. Aku tidak ingin bersamamu cuma karena enggan sendiri. Kau tidak layak untuk itu. Seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukannya ketakutan akan sepi.
‘Apa artinya ‘cinta yang tidak lagi sama’ yang kamu sebut-sebut sejak tadi itu? Memang cinta itu ada berapa macam?’ tanyamu dengan nada meninggi. Air mata yang tadi sudah reda tampak siap-siap melancarkan serangan lanjutan. Entah berapa gelontor lagi yang bakal tiba. Mendadak aku lelah karena harus menjelaskan variasi cinta macam pedagang yang mempresentasikan katalog produk.
Aku tidak tahu cinta punya berapa macam varian. Kau harus bertanya langsung pada hatiku, karena dialah yang satu hari menutup dan berkata: ‘cukup.’ Dia yang berkata: ‘aku tidak lagi jatuh, jalan ini sudah jadi jalan lurus. Teruskan maka aku mati, karena takdirku adalah jatuh. Bukan berjalan di setapak datar apalagi mendaki.’
Hati adalah air, aku lantas menyimpulkan. Baru mengalir jika menggulir dari tempat tinggi ke tempat lebih rendah. Ada gravitasi yang secara alamiah menggiringnya. Dan jika peristiwa jatuh hati diumpamakan air terjun, maka bersamamu aku sudah merasakan terjun, jumpalitan, lompat indah. Berkali-kali. Namun kanal hidup membawa aliran itu ke sebuah tempat datar, dan hatiku berhenti mengalir. Siapa yang mengatur itu? Aku pun tak tahu. Barangkali kita berdua, tanpa kita sadari. Barangkali hidup itu sendiri, sehingga sia-sia menyalahkan siapa-siapa.
Aku ingin mengalir. Hatiku belum mau mati. Aliran ini harus kembali memecah dua agar kita sama-sama bergerak. Sebelum kita terlalu jengah dan akhirnya pisah dalam amarah.
Jadi, aku tidak tahu cinta itu terdiri dari berapa macam. Yang kutahu, cinta ini tersendat, dan hatiku seperti mau mati pengap. Kendati kusayang kamu lebih dari siapapun yang kutahu. Kendati bersamamu senyaman berselimut pada saat hujan. Aku aman. Namun aku mengerontang kekeringan. Dan kini kutersadar, aku butuh hujan itu. Lebih dari apapun.
‘Kamu akan menyesal…’ gumammu lagi.
Mungkin. Kini kita tak mungkin tahu.
‘Enam tahun. Kita akan buang enam tahun itu begitu saja?’ Retoris dan getir, kamu bertanya.
Kamu bukan tisu sekali pakai. Kita tidak mungkin membuang apapun jika kita percaya hati bukan diperuntukkan untuk menyimpan. Otakku merekam dan menyimpan kamu, kita, dan enam tahun ini. Hati tidak pernah menyimpan apa-apa. Ia menyalurkan segalanya. Mengalir, hanya mengalir. Namun kata-kata membeku di ujung mulutku seperti stalaktit dan stalagmit. Tampak dinamis dalam konsep tapi tak bergerak.
‘Ngomong, dong!’ Tiba-tiba suaramu meledak murka.
Bentakanmu seperti aba-aba perwira yang menggerakkan kedua tanganku untuk tahu-tahu merengkuhmu. Refleks yang tak kusangka akan muncul.
Tubuhmu berontak. Kurasakan amarahmu, sakitmu. Kupererat rengkuhanku. Tanganmu meronta, berusaha melepaskan diri. Wajahmu kau tarik menjauh. Segala macam cara kau kerahkan untuk bebas dari pelukanku. Namun aku bertahan.
Rasakan, bisikku dalam hati. Panas tubuh kita berdua mencairkan apa yang sudah beku bertahun-tahun. Rasakan betapa lamanya kita terlelap dan membiarkan aliran itu padam. Begitu terbiasa kita memandangi taring-taring es itu hingga menjadi layaknya aksesoris ruangan, padahal kita sudah mau mati kedinginan, kekeringan. Kamu tak layak didera. Kita tak layak disiksa.
Berangsur, tubuhmu tenang. Otot-ototmu yang tegang mulai melemas, lelah meronta, dan lunglai pasrah dalam pelukanku. Kau mulai menangis. Aku mulai menangis. Lenganmu perlahan mendaki dan balik mendekapku. Kita resmi berpelukan.
Cukup lama tubuh kita terpaut hingga kata-kata yang menggantung beku mulai cair dan mengalir ke dalam darah kita masing-masing. Hatimu tahu, seperti hatiku pun tahu. Nadi kita mendenyutkan pesan-pesan yang tahunan sudah menanti untuk bersuara. Inilah keindahan yang kumaksud. Kejujuran tanpa suara yang tak menyisakan ruang untuk dusta. Sakit ini tak terobati dan bukan untuk diobati. Dan itu jugalah keindahan yang kumaksud. Rasakan semua, demikian pinta sang hati. Amarah atau asmara, kasih atau pedih, segalanya indah jika memang tepat pada waktunya. Dan inilah hatiku, pada dini hari yang hening. Bening. Apa adanya.
Hati-hati, lenganku melonggar, melepaskan tubuhmu. Aku tahu aku telah dimengerti, meski sekali saja pelukanku.
Aliran ini memecah. Indah. Meski aku berbalik pergi dan tak kembali. (Dewi Lestari, 2008, Rectoverso)


such a nice short story. i'll take this one for my bahasa project. there's no way for me to not give Dewi Lestari two thumbs up. she do inspire me :-) 




(cerita diambil dari blog dewi lestari, archives December 2006 or you can find it in catagories: fiksi)